BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Latar Belakang
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya . Pada tahun 2005, setidaknya 2.148
orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94%
praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi,
dan Amerika Serikat.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana hukuman mati dari sudut
pandang HAM?
2. Bagaimana hukuman mati dari sudut
pandang agama Islam?
Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep pidana mati
dari sudut pandang HAM dan agama.
2. Mengetahui sejauh mana hukuman pidana
mati membuat efek jera terhadap terpidana dalam kasus-kasus tertentu.
3. Untuk menambah wawasan terhadap
konsep hukuman mati.
BAB
II Pembahasan
Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Hukum HAM
Internasional.
Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling
kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political
Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak
dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual
dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6
(ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap
dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati. Baru pada Protokol Tambahan
Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol
to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the
abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB
pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan.
Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih
menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup
praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada waktu penyusunan
Kovenan ini, mayoritas negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin
hari negara yang memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin
bertambah dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah
kelompok abolisionis. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European
Convention on Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and
Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati.
Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan
hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga
dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun
juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum
internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara
Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal for
Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma Mahkamah
Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang
merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.
Untuk memahami teks pada Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga
mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang
Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of
Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB
1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek
hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik .
Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:
1).
Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku
bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan
tingkat konsekwensi yang sangat keji.
2).
Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk
hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat
kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia
hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
3).
Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat
ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada
perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak
boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.
4).
Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak
menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
5).
Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final
lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair
trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang
terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
6).
Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke
pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
7).
Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau
perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
8).
Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan
atau perubahan hukuman.
9).
Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan
penderitaan.
Meskipun kontroversi hukuman mati pada
Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih terus
diperdebatkan, namun ada interpretasi lainnya yang menganggap hukuman mati
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi.[22]
Ketentuan tambahan lain adalah berlakunya prinsip non-refoulement –baik untuk
negara yang sudah menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu
ini. Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk
menolak permintaan ekstradisi dari negara lain bila orang tersebut bisa
mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta.
Macam-macam Pelanggaran HAM Berat (Extra Ordinary Crime) | Beberapa jenis pelanggaran HAM yang dikategorikan kejahatan
berskala internasional adalah sebagai berikut :
1. Kejahatan Genosida
Kejahatan genocide adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa/ras, misalnya zaman Hitler memusnahkan bangsa Yahudi.
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, misalnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
3. Pembajakan dan Perampokan
Pembajakan adalah tindakan kejahatan yang dilakukan di pesawat udara, sedangkan perampokan adalah kejahatan yang dilakukan di laut.
4. Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah tindakan kejahatan yang umumnya dilakukan oleh pribadi pada saat perang dan berakibat banyak korban yang terlibat dalam peperangan itu, misalnya kejahatan Perang Dunia II.
1. Kejahatan Genosida
Kejahatan genocide adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa/ras, misalnya zaman Hitler memusnahkan bangsa Yahudi.
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, misalnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
3. Pembajakan dan Perampokan
Pembajakan adalah tindakan kejahatan yang dilakukan di pesawat udara, sedangkan perampokan adalah kejahatan yang dilakukan di laut.
4. Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah tindakan kejahatan yang umumnya dilakukan oleh pribadi pada saat perang dan berakibat banyak korban yang terlibat dalam peperangan itu, misalnya kejahatan Perang Dunia II.
Selama ini ada perbedaan mendasar melihat kasus hukuman mati
dalam perspektik Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Islam. Kesuanya selalu dianggap berbenturan karena memang secara
skriptural-tekstual Islam dan HAM selalu ada berbenturan.
Namun apabila diungkap teks-teks implisit, Islam secara
substantive menawarkan gagasan-gagasan yang pro hak asasi manusia. Salah satu
yang menjadi perdebatan terkait argumen Islam dan HAM adalah hukuman mati di
mana menurut HAM bertentangan, sementara dalam Islam seolah mendukung hukuman
mati.
Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk
hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, di samping melanggar Pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Pasal 3 Deklarasi Universal: “Setiap orang mempunyai hak atas
penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.”
Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights-ICCPR) sekaligus dikuatkan lagi oleh Protocol
Opsional Kedua (Second optional
Protocol) atas perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik
tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.
Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati dimuat dalam
sebuah protokol tersendiri.Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik dan Konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan
yang paling berat.”
Keduanya mengatur bahwa hukuman mati harus hanya boleh
dikenakan oleh sesuatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang” sesuai
dengan undang-undang yang tidak retroaktif.
Sementara dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat
menyebabkan pelakunya dihukum mati terjadi pada tiga kasus.
لا يحلّ دم امرئ مسلم إلاّ بإحدى ثلاث : كفر بعد إيمان ووزن بعد إحصان وقتل نفس بغير نفس
“Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal:
karena membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan
agamanya yang memisahkan diri dari jamaah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Umumnya para fuqaha menyebut 7 macam hukuman-hukuman yang
dijatuhkan kepada para pelaku kemaksiatan disebut hudud: zina, menuduh zina
(qadzf), mencuri (sirq), merampok, menyamun (hirobah), minum minuman keras
(surbah), dan murtad (riddah).
Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum
Islam bersifat tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena
hukum Islam bersumber kepada Al-Qur’an sedangkan Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala
firman-Nya); “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu”. [QS Al-Baqarah [2]: ayat 147]
Selain itu Al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai hakim yaitu
pemutus perkara atas semua permasalahan yang ada di mukabumi ini dan
menyelesaikan setiap perselisihan diantara manusia, sebagaimana dalam Qur’an
Surat 36 (Yaasiin) ayat 2 “Demi Al-Qur’an sebagai Hakim”.
Vonis yang dikeluarkan oleh mahkamah Islam melalui hakim
didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan
kedua sumber hukum yang utama tersebut.
Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah Subhanahu
Wata’ala, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam
Qur’an Surat 4 ayat 64.
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk
dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya
dirinya [313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.”. [QS: An Nisa’ [4: 64]
Ketika Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam masih hidup,
jabatan eksekutif, legislatip dan yudikatip masih dipegang oleh beliau, maka jika
ada umat Islam yang melanggaran aturan Allah mereka datang kepada beliau selaku
pemegang kekuasaan yudikatip, sebagaimana ayat di atas.
Setelah mereka berada dihadapan beliau, maka proses
peradilanpun berjalan untuk menentukan hukuman sesuai Al-Qur’an dan putusan itu
menjadi yurispundensi bagi hukum Islam. Setelah zaman Muhamad Shallallahu
‘Alaihi Wassallam maka diangkatlah hakim untuk memutuskan perkara umat yang
dilaksankan di Mahkamah Islam dan putusannya harus diterima sebagai putusan
yang datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4
ayat 65 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [QS; An Nisa’ [4]: 65].
Dalam Islam, sebelum putusan hakim dieksekusi maka korban
atau keluarga korban mempunyai hak untuk mencabut atau membatalkan putusan
hakim, karena korban atau keluarga korban memaafkan tindakan si terhukum dan
biasanya si terhukum diganjar dengan denda atau pembatalan itu menjadi penebus
dosa bagi si korban, sebagaimana dalam Qur’an Surat 5 (Al-Maidah) ayat 45; “Dan
Kami (Allah) telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah [5]: 45]
Untuk kasus dengan putusan hukuman mati baik dirajam,
digantung maupun dipancung, si terhukum sudah menyadari betul bahwa dia memang
bersalah karena sebelum diadili oleh hakim, si terhukumlah yang datang untuk
mendapat hukuman sesuai dengan hukum Islam.
Penulis berpendapat, dengan pemberlakuan hukuman mati di
Indonesia yaitu merupakan wujud tegasnya hukum di Indonesia terhadap terpidana
yang melakukan kejahatan berat. Jika dilihat dari sisi pelanggar, pelaksanaan
hukuman mati adalah melanggar HAM, namun jika dari sisi korban, pelanggar
tersebut telah melanggar HAM si korban. Maka aparat hukum dan
instrumen-instrumen hukum di Indonesia harus tegas dalam menangani kasus
kejahatan berat, tidak hanya menimbulkan efek jera tetapi juga untuk mencegah
hal yang sama terjadi dengan pelanggar yang berbeda. Namun apabila pihak dari
korban memaafkan kesalahan si pelanggar dan mencabut hukuman mati terhadapnya,
maka si pelanggar terbebas dari hukuman mati. Dalam Islam, ketentuan hukuman mati adalah
untuk pembunuh, pezina, dan orang yang murtad lalu melakukan pemberontakan
terhadap agama Islam.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman pidana mati di Indonesia masih ada pro dan kontra. Namun
Secara umum, pidana mati tidak bertentangan dengan HAM karena payung hukum yang
mengatur tentang HAM tidak menunjukkan indikasi pertentangan diantara keduanya.
Hal yang selama ini dianggap bahwa pidana mati bertentangan dengan HAM karena
hanya didasari oleh sudut pandang tertentu, tidak melihat sudut pandang
lainnya. Karena itu, tidak ada hal yang absolut.
Saran
Perlu diadakan studi kasus terlebih dahulu bahwa pebedaan
pendapat terhadap perlu atau tidaknya dilaksanakan hukuman mati di Indonesia.
Dengan hal ini, diharapkan nantinya akan terwujud kesamaan persepsi mengenai
pidana mati sebagai bagian dari upaya penegakan HAM sekaligus penegakan
supremasi hukum.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
http://shohibustsani.blogspot.com/2012/08/ham-kontroversi-hukum-pidana-mati.html
http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/01/27/37584/hukuman-mati-antara-perspektif-ham-al-quran-dan-sunnah-1.html
https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/