Thursday 4 June 2015

(Tugas IBD) Hukuman Mati di Indonesia dari Sudut Pandang HAM dan Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya . Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.

Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.

Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.

Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukuman mati dari sudut pandang HAM?
2. Bagaimana hukuman mati dari sudut pandang agama Islam?

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep pidana mati dari sudut pandang HAM dan agama.
2. Mengetahui sejauh mana hukuman pidana mati membuat efek jera terhadap terpidana dalam kasus-kasus tertentu.
3. Untuk menambah wawasan terhadap konsep hukuman mati.

BAB II Pembahasan
Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Hukum HAM Internasional.
Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati. Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan. Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompok abolisionis. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.
Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:
1). Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.
2). Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
3). Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.

4). Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
5). Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
6). Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
7). Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
8). Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.
9). Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.
Meskipun kontroversi hukuman mati pada Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih terus diperdebatkan, namun ada interpretasi lainnya yang menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi.[22] Ketentuan tambahan lain adalah berlakunya prinsip non-refoulement –baik untuk negara yang sudah menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu ini. Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak permintaan ekstradisi dari negara lain bila orang tersebut bisa mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta.
Macam-macam Pelanggaran HAM Berat (Extra Ordinary Crime) | Beberapa jenis pelanggaran HAM yang dikategorikan kejahatan berskala internasional adalah sebagai berikut :

1. Kejahatan Genosida
Kejahatan genocide adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa/ras, misalnya zaman Hitler memusnahkan bangsa Yahudi.

2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, misalnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.

3. Pembajakan dan Perampokan
Pembajakan adalah tindakan kejahatan yang dilakukan di pesawat udara, sedangkan perampokan adalah kejahatan yang dilakukan di laut.

4. Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah tindakan kejahatan yang umumnya dilakukan oleh pribadi pada saat perang dan berakibat banyak korban yang terlibat dalam peperangan itu, misalnya kejahatan Perang Dunia II.

Selama ini ada perbedaan mendasar melihat kasus hukuman mati dalam perspektik  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Islam. Kesuanya selalu dianggap berbenturan karena memang secara skriptural-tekstual Islam dan HAM selalu ada berbenturan.
Namun apabila diungkap teks-teks implisit, Islam secara substantive menawarkan gagasan-gagasan yang pro hak asasi manusia. Salah satu yang menjadi perdebatan terkait argumen Islam dan HAM adalah hukuman mati di mana menurut HAM bertentangan, sementara dalam Islam seolah mendukung hukuman mati.

Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, di samping melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Pasal 3 Deklarasi Universal: “Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.”
Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) sekaligus dikuatkan lagi oleh Protocol Opsional  Kedua (Second optional Protocol) atas perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.
Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah protokol tersendiri.Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan yang paling berat.”
Keduanya mengatur bahwa hukuman mati harus hanya boleh dikenakan oleh sesuatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif.

Sementara dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan pelakunya dihukum mati terjadi pada tiga kasus.
لا يحلّ دم امرئ مسلم إلاّ بإحدى ثلاث : كفر بعد إيمان ووزن بعد إحصان وقتل نفس بغير نفس
“Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: karena membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Umumnya para fuqaha menyebut 7 macam hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku kemaksiatan disebut hudud: zina, menuduh zina (qadzf), mencuri (sirq), merampok, menyamun (hirobah), minum minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum Islam bersifat tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena hukum Islam bersumber kepada Al-Qur’an sedangkan Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala firman-Nya); “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. [QS Al-Baqarah [2]: ayat 147]
Selain itu Al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai hakim yaitu pemutus perkara atas semua permasalahan yang ada di mukabumi ini dan menyelesaikan setiap perselisihan diantara manusia, sebagaimana dalam Qur’an Surat 36 (Yaasiin) ayat 2 “Demi Al-Qur’an sebagai Hakim”.
Vonis yang dikeluarkan oleh mahkamah Islam melalui hakim didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan kedua sumber hukum yang utama tersebut.
Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4 ayat 64.
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”. [QS: An Nisa’ [4: 64]
Ketika Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam masih hidup, jabatan eksekutif, legislatip dan yudikatip masih dipegang oleh beliau, maka jika ada umat Islam yang melanggaran aturan Allah mereka datang kepada beliau selaku pemegang kekuasaan yudikatip, sebagaimana ayat di atas.
Setelah mereka berada dihadapan beliau, maka proses peradilanpun berjalan untuk menentukan hukuman sesuai Al-Qur’an dan putusan itu menjadi yurispundensi bagi hukum Islam. Setelah zaman Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam maka diangkatlah hakim untuk memutuskan perkara umat yang dilaksankan di Mahkamah Islam dan putusannya harus diterima sebagai putusan yang datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4 ayat 65 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [QS; An Nisa’ [4]: 65].
Dalam Islam, sebelum putusan hakim dieksekusi maka korban atau keluarga korban mempunyai hak untuk mencabut atau membatalkan putusan hakim, karena korban atau keluarga korban memaafkan tindakan si terhukum dan biasanya si terhukum diganjar dengan denda atau pembatalan itu menjadi penebus dosa bagi si korban, sebagaimana dalam Qur’an Surat 5 (Al-Maidah) ayat 45; “Dan Kami (Allah) telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah [5]: 45]
Untuk kasus dengan putusan hukuman mati baik dirajam, digantung maupun dipancung, si terhukum sudah menyadari betul bahwa dia memang bersalah karena sebelum diadili oleh hakim, si terhukumlah yang datang untuk mendapat hukuman sesuai dengan hukum Islam.
Penulis berpendapat, dengan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia yaitu merupakan wujud tegasnya hukum di Indonesia terhadap terpidana yang melakukan kejahatan berat. Jika dilihat dari sisi pelanggar, pelaksanaan hukuman mati adalah melanggar HAM, namun jika dari sisi korban, pelanggar tersebut telah melanggar HAM si korban. Maka aparat hukum dan instrumen-instrumen hukum di Indonesia harus tegas dalam menangani kasus kejahatan berat, tidak hanya menimbulkan efek jera tetapi juga untuk mencegah hal yang sama terjadi dengan pelanggar yang berbeda. Namun apabila pihak dari korban memaafkan kesalahan si pelanggar dan mencabut hukuman mati terhadapnya, maka si pelanggar terbebas dari hukuman mati.  Dalam Islam, ketentuan hukuman mati adalah untuk pembunuh, pezina, dan orang yang murtad lalu melakukan pemberontakan terhadap agama Islam.

BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman pidana mati di Indonesia masih ada pro dan kontra. Namun Secara umum, pidana mati tidak bertentangan dengan HAM karena payung hukum yang mengatur tentang HAM tidak menunjukkan indikasi pertentangan diantara keduanya. Hal yang selama ini dianggap bahwa pidana mati bertentangan dengan HAM karena hanya didasari oleh sudut pandang tertentu, tidak melihat sudut pandang lainnya. Karena itu, tidak ada hal yang absolut.

Saran
Perlu diadakan studi kasus terlebih dahulu bahwa pebedaan pendapat terhadap perlu atau tidaknya dilaksanakan hukuman mati di Indonesia. Dengan hal ini, diharapkan nantinya akan terwujud kesamaan persepsi mengenai pidana mati sebagai bagian dari upaya penegakan HAM sekaligus penegakan supremasi hukum.

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
http://shohibustsani.blogspot.com/2012/08/ham-kontroversi-hukum-pidana-mati.html
http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/01/27/37584/hukuman-mati-antara-perspektif-ham-al-quran-dan-sunnah-1.html
https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/